GARUT, STATUSJABAR.COM – Anggota DPRD Garut Yudha Puja Turnawan angkat bicara terkait polemik adanya dugaan pungutan sekolah dalam proses Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) di Kabupaten Garut.
Yudha menegaskan, seluruh pungutan dan sumbangan telah diatur dalam hal ini baik di PP Nomor 48 Tahun 2008 tentang Pendaan Pendidikan maupun Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 44 Tahun 2012. Dalam Pasal 9 Ayat 1 menyebutkan, satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh pemerintah, dan / atau pemerintah daerah (Sekolah Negri-red) dilarang memungut biaya satuan pendidikan.
“Tidak diperbolehkan adanya pungutan, kalau sumbangan diperbolehkan, dalam hal ini baik di PP 48 maupun di permendikbud nomor 75 tahun 2016 tentang komite sekolah. Komite sekolah diperbolehkan mencari sumbangan, namun sumbangan ini sifatnya sukarela yaitu tidak ditentukan nominal nya dan untuk orangtua yang mampu dan berkenan saja, kalau tidak berkenan tidak apa atau paksaan dan ini berlaku untuk semua jenjang pendidikan baik SD, SMP maupun SMA,” ucapnya.
Menurut Yudha, kalau sudah ditentukan nominal nya, saya mendengar salah satunya di SMA N yang ada di Garut itu ditahun ajaran 2023 ada yang harus membayar minimal Rp.15 Juta, dan tahun sebelumnya (2022) minimal Rp. 13 Juta.
Yudha menjelaskan pungutan itu tidak boleh, karena ada perbedaan antara pungutan dan sumbangan.
Pungutan itu ditentukan nominalnya dan berlaku untuk semua orangtua siswa, dan yang terjadi hari ini kadang akhirnya berlaku untuk semua orang tua siswa, dan itu sebenarnya sudah menyalahi aturan dan sebenarnya bisa dilaporkan ke pihak Ombudsman. Kalau sifatnya sumbangan itu sukarela.
Lebih jauh Yudha menjelaskan, jadi berkaitan dengan dana sumbangan PPDB, sebetulnya tidak boleh ada pungutan, kalau pun Komite sekolah mensosialisasikan keperluan bahwa untuk meningkatkan mutu pendidikan diperlukan dana tambahan dipersilahkan.
“Tapi sifatnya sumbangan kalau ada orangtua yang mau membatu silahkan berapa pun juga, namun tidak boleh ditentukan nominalnya. kalau ditentukan nominalnya berarti itu namanya pungutan. Dan pungutan di PP nomor 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan itu jelas dilarang untuk sekolah yang dibiayai oleh pemerintah terkecuali sekolah yang dibiayai oleh masyarakat atau sekolah swasta diperbolehkan, karena mereka mandiri,” jelasnya.
Jadi kalau ada hari ini komite sekolah yang menentukan nominalnya sekian, dan itu silahkan dilaporkan ke ombudsman, karena ini sudah tindakan yang sudah menyalahi aturan dan sudah tidak sesuai dengan amanat konstitusi
Saya mengkritisi, jangan jangan di semua sekolah, seperti ini komite sekolah. Pengalaman saya selaku orang tua murid di salah satu SMAN Garut, selama tiga tahun saya tidak pernah diajak rapat dan saya juga melihat komite sekolah ini tidak transparan dan demokratis.
Padahal dalam Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016 tentang komite sekolah itu jelas aturannya komite sekolah itu dibentuk oleh rapat orang tua siswa, sejauh ini saja saya belum tau komite di sekolah anak saya siapa saja, jangan jangan praktek ini juga berlaku di SMA lainnya.
Jadi menurut saya harus ada transparansi nya, sesuatu hal yang demokratis. Apalagi berkaitan dengan uang sumbangan, tentu sumbangan itu perlu akuntabel juga dipergunakan untuk apa saja.
“Saya selaku orang tua siswa, selama tiga tahun baru perpisahan kemarin, belum pernah mendapatkan laporan uang dana sumbangan pendidikan yang telah ditentukan sebesar Rp 7,5 juta (2021) itu digunakan apa,” imbuhnya.
Yudha menambahkan, apapun alasan nya meskipun hasil musyawarah jika ditentukan nilainya tetap tidak boleh itu namanya pungutan, dan jika ada juga yang ingin masuk sekolah dengan cara jalan pelicin bisa diadukan atau dilaporkan ke Tim Satgas Saber Pungli, tandasnya. (*)